Perum Perhutani Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) Garut adalah salah satu unit manajemen di wilayah Perum
Perhutani Divisi Regional Jawa Barat & Banten. luas kawasan hutan
berdasarkan SK. Menhut No.195 seluas 81.510,65 Ha, dengan perincian luas
kawasan hutan berdasarkan fungsinya, Hutan Produksi 166,50 Ha (0,20 %), Hutan
Produksi Terbatas 5.429,60 Ha (6,66 %), Hutan Lindung 75.938,29 Ha (93,14 %)
Persoalan tidak selsai disitu, karena pemberian ijin tidak melalui kajian yang benar dampaknya banyak terjadi persoalan sosial yang akut, di cirorek misalnya , orang saling klaim satu sama lain hal ini tidak menutup kemungkinan akan adanya persoalan yang lebih besar lagi jika tidak segera di atasi.
Kesimpulan saya hari ini, kawasan hutan perhutani yang saya sampaikan diatas itu kondisinya sudah gawat, rusak parah, selain itu dampaknya sudah kita rasakan bersama. Untuk itu kami menyimpulkan untuk mencari siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas semua ini.? Sebelum kami proses secara hukum satu demi satu, kami berharap ada seseorang atau sekelompok orang yang mengaku bertanggungjawab terhada semua hal buruk yang terjadi di kawasan hutan perhutani.
Pelaku perusakan sudah pasti harus bertanggungjawab, Selain para pelaku perusakan, Perhutani adalah salah satu yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi di atas bumi perhutani tersebut, dari sekian banyak data perusakan belum ada satupun kasusnya yang dilaporkan perhutani kepada penegak hukum, dengan demikian perhutani diduga terlibat dalam hal pembiaran
Salah satu kewajiban Perum Perhutani sebagai pengelola hutan negara berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan adalah melaporkan kepada polisi apabila terjadi kehilangan asset Negara, karena berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 Perum Perhutani tidak memiliki kewenangan penyidikan tindak pidana kehutanan.
Tindakan melaporkan kepada penegak hukum atau kepolisian apabila terjadi gangguan keamanan hutan adalah kewajiban perusahaan sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, karena apabila Perum Perhutani tidak melaporkan maka akan dikenakan sanksi dianggap melakukan pembiaran sesuai ketentuan Pasal 104 yang berbunyi:
Berdasarkan kesesuaian lahan
kawasan hutan KPH Garut dibagi dalam 2 (dua) kelas Perusahaan, yaitu Kelas
Perusahaan Jati 6.537,58 Ha, Kelas Perusahaan Pinus 74.996,81 Ha.
Sedangkan bedasarkan wilayah
pengelolaan, dibagi menjadi 9 (Sembilan) BKPH, dengan perincian sebagai berikut
1. BKPH
Leles 3.629,90 Ha,
2. BKPH
Cibatu 7.688,19 Ha,
3. BKPH
Bayongbong 6.419,74 Ha,
4. BKPH
Cikajang 10.967,57 Ha,
5. BKPH
Cileuleuy 14.145,96 Ha,
6. BKPH
Sumadra 11.052,78 Ha,
7. BKPH
Bungbulang 11.835,70 Ha,
8. BKPH
Cisompet 11.787,16 Ha,
9. BKPH
Pameungpeuk 4.007,39 Ha.
Kalau melihat data diatas, perhutani garut memiliki potensi yang sangat besar. Akan tetapi beberapa bulan Badan Penelitian Aset Negara Kabupaten Garut melakukan obserpasi dan investigasi lapangan terkait manajemen, pengelolaan serta pemanfaatan hutan Perhutani, ditemukan banyak pelanggaran hukum, Dari kasus Ilegaloging, penyerobotan, perusakan sampai pada pemalsuan dokumen perijinan dan lain lain.
Selain itu banyak kasus pemanfaatan hutan yang tidak tepat sasaran, kajian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, sehingga tidak berdampak pada peningkatan pendapatan perhutani sendiri, dengan kata lain banyak ijin pemanfaatan lokasi yang mangkrak atau tidak berjalan, hal tersebut dikarenakan buruknya uji kelayakan yang dilakukan perhutani, sebut saja misalkan "Curug Teko, Dusun Kopi, nangklak, situ cibeureum, cihanyawar dan banyak lagi tempat wisata lain yang mangkrak alias One Prestasi.
Persoalan tidak selsai disitu, karena pemberian ijin tidak melalui kajian yang benar dampaknya banyak terjadi persoalan sosial yang akut, di cirorek misalnya , orang saling klaim satu sama lain hal ini tidak menutup kemungkinan akan adanya persoalan yang lebih besar lagi jika tidak segera di atasi.
Belum lagi kasus kasus perusakan hutan, pnebangan, penyerobotan dan pemanfaatan yang tidak tepat, dampaknya besar sekali kepada masyarakan yang tinggal dibantaran sungai seperti kejadian banjir bandang beberapa tahun lalu.
Kesimpulan saya hari ini, kawasan hutan perhutani yang saya sampaikan diatas itu kondisinya sudah gawat, rusak parah, selain itu dampaknya sudah kita rasakan bersama. Untuk itu kami menyimpulkan untuk mencari siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas semua ini.? Sebelum kami proses secara hukum satu demi satu, kami berharap ada seseorang atau sekelompok orang yang mengaku bertanggungjawab terhada semua hal buruk yang terjadi di kawasan hutan perhutani.
Pelaku perusakan sudah pasti harus bertanggungjawab, Selain para pelaku perusakan, Perhutani adalah salah satu yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi di atas bumi perhutani tersebut, dari sekian banyak data perusakan belum ada satupun kasusnya yang dilaporkan perhutani kepada penegak hukum, dengan demikian perhutani diduga terlibat dalam hal pembiaran
Perum Perhutani sebagai BUMN pengelola hutan
negara harus pada aturan-aturan hukum terkait tata-kelolanya sebagai bentuk
Good Corporate Governance,
Salah satu kewajiban Perum Perhutani sebagai pengelola hutan negara berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan adalah melaporkan kepada polisi apabila terjadi kehilangan asset Negara, karena berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 Perum Perhutani tidak memiliki kewenangan penyidikan tindak pidana kehutanan.
Tindakan melaporkan kepada penegak hukum atau kepolisian apabila terjadi gangguan keamanan hutan adalah kewajiban perusahaan sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, karena apabila Perum Perhutani tidak melaporkan maka akan dikenakan sanksi dianggap melakukan pembiaran sesuai ketentuan Pasal 104 yang berbunyi:
berikut ini ancaman pidana dan denda bagi pejabat perhutani yang terlibat pidana pembiaran :
“Setiap pejabat yang dengan sengaja melakukan pembiaran
terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 sampai
dengan pasal 17 dan pasal 19, tetapi tidak menjalankan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 15 (limabelas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp
1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 7.500.000.000 (tujuh
setengah milyar rupiah” Dengan demikian jelaslah siapa yang akan jadi tersangka jika persoalan kejahatan di hutan ini terus berlanjut,
Oleh : Iwan Sunarya (Ketua BPAN AI Garut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar